Oleh: Sonny Zulhuda *
Pengantar
Bulan Agustus tahun 2003 ini menyaksikan Republik Indonesia memasuki tahun ke-58 kemerdekaannya dari penjajahan kolonial Jepang dan Belanda. Perayaan kemerdekaan ini mungkin bisa dikatakan sebagai perayaan yang paling meriah di seantero jagat. Bendera-bendera dikibarkan di gedung-gedung pemerintah, sekolah, kantor-kantor perusahaan, juga di rumah-rumah kompleks dan kampung, meskipunharus dipaksakan diatas atap. Mulut-mulut gang setiapkampung dihias dengan gapura dan umbul-umbul yang berwarna-warni. Stasiun-stasiun TV berlomba-lomba menyajikan acara khusus menyambut kemerdekaan. Lomba-lomba rakyat diadakan mulai dari kampung, komplek, sampai ke kampus. Yang tak kalah menarik, sebagian masyarakat merasa perlu melakukan ziarah, haul dan selametan di kubur-kubur pendahulu yang dianggap bisa memudahkan rejeki mereka.
Saking gregetnya perayaan ini, sampai-sampai seorang ilmuwan sastra dan sejarah Malaysia, Dr. Siddiq Fadhil dalam bukunya Melayu Baru merasa perlu menyebut fenomena itu untuk dicontoh oleh negara Malaysia dalam menyambut kemerdekaannya.
Sayangnya, lebih sering terjadi perayaan dan peringatan hari kemerdekaan Indonesia itu hanya menunjukkan fenomena romantisme sejarah. Memang, cerita kemerdekaan Indonesia telah meninggalkan berbagai cerita heroik dalam literatur perjuangan bangsa. Namun,lebih dari itu, kita perlu melakukan renungan lebih jauh, hendak kemana pembangunan bangsa diarahkan? Hendak diisi dengan perjuangan yang bagaimana kemerdekaan ini? Hendak dimulai dari mana? Pertanyaan-pertanyan inilah yang perlu kita perbaharui setiap kali kita memperingati hari kemerdekaan ini.
Uraian singkat dibawah ini mencoba menelaah situasi dan permasalahan hukum di Indonesia berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas. Perenungan ini akan diawali dengan kilas balik cita-cita negara hukum yang dicanangkan oleh para pendiri negara Republik Indonesia, dan akan dilanjutkan dengan beberapa permasalahan dan perkembangan reformasi hukum Indonesia ke depan. Tulisan ini tidak bermaksud mencatat seluruh perjalanan perkembangan sistem hukum di Indonesia, namun akan terkonsentrasi kepada beberapa permasalahan aktual dalam kerangka reformasi hukum nasional.
Prinsip Negara Hukum (Rechtstaat)
Dari berbagai teori tentang perkembangan dan pembangunan hukum, peran hukum tidak pernah terlepas dari keterkaitannya dengan pembangunan masyarakat. Hukum dianggap representasi institusional dan struktural bagi sebuah masyarakat yang hidup pada masa tertentu. Segala norma dan praktik masyarakat disadurkan kedalam institusi yang disebut hukum.
Berdasarkan pemahaman diatas, kesimpulan dapat ditarik bahwa hukum yang baik tentu akan terefleksi dari sebuah masyarakat yang baik pula. Namun hubungan sebab akibat ini tidak berjalan searah, karena pada kenyataannya, pembangunan hukum juga dianggap sebagai salah satu faktor utama bagi perbaikan keadaan sebuah masyarakat. Jadi pada lain kesempatan, bukan saja masyarakat yang membentuk hukum, tapi hukumlah yang juga turut andil membentuk masyarakat.
Dalam konteks yang terakhir ini, dapat dipahami betapa pembangunan sektor hukum menjadi sebuah ide yang senantiasa dilaungkan di negeri kita ketika tuntutan untuk membentuk sebuah masyarakat yang adil sejahtera dicanangkan dalam perjuangan.
Dalam mempersiapkan infrsruktur negara Republika Indonesia yang akan lahir, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merasa perlu memastikan pembangunan aspek hukum ini dipastikan alur dan jalannya. Ditegaskanlah didalam konstitutsi kita (UUD 1945) bahwa Indonesia menganut prinsip Rechtstaat, yang berarti Negara Hukum. Menurut konsep ini, pertama, negara digariskan berdasarkan aturan dan hukum yang disepakati. Hukum diangkat martabatnya dengan mengusung konsep kedaulatan hukum. Kedua, semua warga negara Indonesia harus tunduk kepada hukum, atau yang biasa disebut prinsip keserataan hukum. Dan yang ketiga, dengan prinsip Rechtstaat ini, negara harus menjamin penegakan hukum yang indepnden dari kuasa ekesekutif. Dari poin yang terakhir ini konsep trias politika diperkenalkan di Indonesia dengan membagi-bagi kekuasaan diantara eksekutif (Presiden), legislatif (DPR) dan juga yudikatif (Mahkamah Agung).
Konsep Trias Politika memang tidak sepenuhnya dilekasanakan secara murni. Pada awalnya, konstitusi kita memang merupakan hibrida dari berbagai sistem konstitusi yang ada. Contohnya adalah penggunaan sistem presidensial yang mengacu kepada sistem AS, sementara konsep MPR mengacu dari konstitusi CIna. Akibat langsung dari formulasi hibrida ini, konstitusi kita tidak secara tegas dan ketat menerapkan trias politika. Padahal, seharusnya dengan wksistensi MPR, pembagian kekuasaan ini dapat lebih terealisasi dengan baik.
Koreksi terhadap Politik Hukum Kolonial
Walhasil, prinsip Rechtstaat ini mencoba mengoreksi keadaan masyarakat yang morat marit setelah dicabik-cabik kuku penjajahan selama beberapa abad lamanya. Pertama, politik hukum kolonial Belanda memberlakukan klasifikasi subjek hukum menjadi tiga kelas: kelas Eropa, kelas Asia perantau (Tionghoa dan Arab), dan yang terakhir seta terendah, kelas pribumi. Politik hukum ini jelas bertentangan dengan asas keserataan hukum.
Kedua, politik hukum kolonial Belanda telah mengaburkan peta historis hukum di Indonesia. Sejak berabad-abad lamanya, hukum yang berkembang di tanah nusantara telah terinspirasi oleh hukum Islam yang saat itu telah menyebar di berbagai kawasan dan daerah. Secara logikanya, hal ini sama sekali tidak aneh, karena penyebaran agama Islam selalu disertai dengan semangat untuk mengimplementasikan hukum yang berdasarkan Syariat Islam dengan mengakomodasi adat setempat. Adat sendiri diakui dalam yurisprudensi hukum Islam sebagai salahsatu inspirasi penemuan hukum, tentunya selama itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariat.
Dalam kaitannya dengan ini, cukup menarik dilihat bahwa terminologi hukum dan peradilan di Indonesia sejak masa lalu didominasi oleh terminologi bahsa Arab yang tentunya dibawa oleh tradisi Islam ke Indonesia. Untuk contohnya saja, kata-kata hukum, hakim, mahkamah, terdakwa, ikrar, adil, pengadilan, musyawarah, kuat, zalim, rakyat, kaidah, majlis, dan lain sebagainya.
Bukti empiris penerimaan hukum Islam ini dapat ditelusuri dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah berupa literatur yang mengarah kepada keadaan ini. Nyata bahwa keberadaan hukum Islam telah tersebar di Nusantara dan mendapatkan tempat yang khusus. (Rifyal Ka’bah, 1999:69-74). Berdasarkan kajian ilmiah dan objektif, seorang ahli hukum Belanda zaman kolonial LCW. Van den Berg (hidup di abad 19) mengukuhkan kesaksiannya bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat Muslim di Indonesia ketika itu adalah hukum Islam. Kesaksiannya ini direkamkan ke dalam teorinya yang terkenal, Receptio in Complexu. Berdasarkan teori inilah pemerintah kolonial Belanda pada awalnya mengakui secara de jure dan de fakto bahwa hukum Islam di Indonesia memang telah berlaku, dan juga diimplementasikan oleh pengadilan-pengadilan agama di berbagai pelosok Nusantara.
Akan tetapi pendirian ini tidak bertahan, karena pemerintah kolonial Belanda merasa perlu merekayasa pembangunan hukum di Indonesia ketika itu agar tetap terkontrol dan tidak menimbulkan kondisi subversif. Ringkasnya, dilakukanlah rekayasa historis melalui teori Receptie yang dilaungkan secara sistematis oleh dua orang sarjana Belanda Cornelis van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje. Menurut teori ini, dikatakan hukum Islam tidak pernah secara murni dipraktikkan di Indonesia, yang ada adalah hukum Islam diterima dan diimplementasikan selama ia tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi, menurut teori ini, yang berlaku adalah hukum adat. Melalui rekayasa ini, ada dua hal yang terjadi. Pertama, hukum Islam kehilangan basis yuridis dalam sistem hukum nasional, dan kedua, hukum adat dipertentangkan dengan hukum Islam.
Implikasi lebih jauh lagi terhadap teori ini, diciptakanlah sistem hukum yang dipaksakan. Sistem peradilan diduakan menjadi sistem peradilan sipil dan agama. Kewenangan peradilan agama di Nusantara tereliminir sehingga hanya mencakup perkara-perkara yang bersifat personal seperti hukum perkawinan, perceraian, waris, wakaf dan hak menjaga anak. Sementara sebagian besar dialihkan ke bawah kewenagan pengadilan sipil. Keadaan-keadaan diatas inilah yang diantaranya hendak dikoreksi oleh prinsip Rechtstaat, yaitu menciptakan sebuah negara yang berdaulat kepada hukum. Bukan sebaliknya hukum yang berdaulat kepada negara.
Negara Hukum: ‘Rule of Law’ atau ‘Law of the Ruler’?
Prof. Hazairin (1985:51) mengatakan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari perikatannya dengan penguasa. Ini sejalan dengan konsep positivisme hukum yang memandang bahwa hukum tidak dapat berdiri tanpa didukung oleh kekuatan yang dipatuhi (binding force) dan diancam dengan hukum yang pasti (punishment). Oleh itulah hukum akan selalu terikat dengan penguasa, bukan untuk didikte dan direkayasa, namun untuk difasilitasi pelaksanaannya.
Pada kenyataannya, seiring dengan idiom politik, kekuasaan selalu berusaha untuk merebut, mempertahankan dan memperluas diri dengan berbagai cara. Tak luput, hukum dan perundangan telah dianggap sebagai salah satu cara ampuh untuk mempertahankan kekuasaan. Fenomena ini selalu hadir di depan mata kita, mulai dari jama kolonial Belanda hingga pasca kemerdekaan dengan berbagai pemerintahan yang terbentuk. Hasilnya, badan peradilan Indonesia bukannya melakukan kontrol efektif terhadap kekuasaan (dalam hal ini eksekutif dan legislatif), justru malah membiarkannya tanpa pengawasan.
Seorang Indonesianis asal Australia, Tim Lindsey (1999:13) berpendapat bahwa cita-cita negara hukum di Indonesia telah tercemar pertama kali secara resminya pada era demokrasi terpimpin oleh Soekarno pada awal dekade 60-an. Yang berlaku saat itu adalah hukum revolusi. Dan parameter keadilan saat itu adalah konsep ‘revolusi’ Bung Karno. Walhasil, segala perilaku dan aktivitas yang tidak revolusioner akan berujung pada intimidasi, kekalahan, dan biasanya penjara. ‘Hukum’ yang sehat seperti tidak mendapatkan tempat. Dan, sesuai dengan idiom yang pernah dilontarkan Liebknecht yang digaungkan oleh Presiden pertama kita, ‘You cannot make a revolution with lawyers’. Intinya, revolusi tidak memberikan tempat untuk hukum dan para aktivisnya.
Di era Orde Baru, bersaing dengan penyakit KKN yang menggejala di seluruh lini kehidupan masyarakat, problematika lemahnya kedaulatan hukum juga menjadi sebab timbulnya gerakan reformasi yang memuncak dengan jatuhnya Soeharto pada tahun 1998. Berbagai produk hukum yang dikeluarkan memasung hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan hukum yang berdaulat dan sama rata. Oleh itu, supremasi hukum menjadi salah satu tuntutan utama gerakan reformasi tahun 1998.
Agenda Reformasi Hukum
Dari mana kita memulai reformasi bidang hukum? Komisi Hukum Nasional (KHN) yang didirikan di era reformasi kini sibuk dengan berbagai agenda reformasi hukum di Indonesia. Secara gamblangnya, agenda reformasi itu dibagi kepada tiga sektor: pertama, pendidikan dan sosialisasi hukum, kedua, agenda perundang-undangan, dan ketiga, reformasi institusi peradilan dan perundangan.
Dalam kaitannya dengan agenda reformasi nasional ini, ada beberapa fokus yang kiranya perlu diberikan perhatian melalui paper ini untuk merealisasikan reformasi di bidang hukum. Diagram berikut memberikan gambaran agenda reformasi tersebut:
Sistem Hukum Milik Semua: Melepas Kekangan Sistem Kolonial
Seperti diketahui, sistem hukum Indonesia merupakan paduan tiga sistem hukum yang berbeda: sistem hukum kolonial Belanda, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Adat. (Busthanul Arifin, 1996). Adapun secara struktural, sistem hukum Belanda lebih banyak berpengaruh, terutama yang masih kental sampai sekarang di bidang hukum tata negara, hukum pidana, perdata, hukum acara, dan bidang-bidang hukum publik lainnya. Karena pengaruh yang cukup kentara ini, sistem hukum Indonesia lebih dikenal sebagai sistem hukum Civil Law yang berakar pada sistem Roman Law (Tim Lindsey, 1999:1). Sistem ini popular di negara-negara kontinental seperti Perancis, Jerman, dan kemudiannya dibawa oleh Belanda ke tanah Indonesia.
Nuansa Civil Law memang masih sangat kental dalam sistem hukum nasional. Bahkan undang-undang kolonial Belanda yang masih berlaku sebelum diundangkannya UU Advokat tahun 2003, menyatakan bahwa yang layak untuk mewakili gugatan di pengadilan selaku penasehat hukum adalah mereka yang berkelulusan sarjana hukum, baik itu di Indonesia ataupun di negeri Belanda. Selain itu, dalam mempertimbangkan terobosan-terobosan baru, seringkali ahli hukum kita terbentur dengan kenyataan bahwa sistem kita yang Civil Law tidak mengakuinya.
Nuansa dan pengakuan sistem Civil Law di Indonesia sudah sedemikian mengakar dalam benak para praktisi dan penegak hukum kita seperti yang pernah dikritisi oleh kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam uraiannya kepada penulis. Dan memang, perspektif Civil Law ini malah merugikan kita, dikarenakan beberapa sebab:
Pertama, dengan mengkalisfikasikan negara kita sebagai bersistemkan Civil Law, maka perkembangan hukum kita akan bergerak sangat terbatas dan terkesan terisolasi.
Kedua, karena Indonesia secara geografis, ekonomis dan politis lebih dekat dengan negara-negara yang bersistemkan Common Law. (Contohnya Malaysia, Singapura, Australia, Brunei, Amerika Serikat, Hongkong, India, Pakistan).
Ketiga, sistem hukum Civil Law lebih sulit berkembang dibandingkan sistem hukum dunia yang lainnya, yaitu sistem Common Law atau Anglo Saxon Law yang brekembang di Inggris dan bekas koloninya. Ini disebabkan:
- Sistem Civil Law pada asalnya dirumuskan dalam sebuah kodifikasi hukum yang dibuat oleh para ahli hukum negara tertentu. (Baca: Roman Law in the European Histroy). Adapun Common Law banyak terinspirasi oleh praktik yang ditemui di dalam masyarakat dan disadur ke dalam keputusan hakim serta peraturan verbal (rules of equity, seperti pepatah petitih dalam adat Sumatera). Perbedaan ini menyebabkan perundangan Civil Law tidak lebih hidup dibanding dengan sistem lainnya. Kenyataannya, sistem hukum Common Law menjadi lebih peka dan cepat dalam menjawab tantangan global.
- Sistem Civil Law tidak menganut asas yurisprudensi mengikat. Yurisprudensi (yaitu keputusan-keputusan hakim yang terdahulu) dijadikan sumber ketetapan hukum dalam skala yang sangat terbatas. Adapun dalam sistem Common Law, doktrin preseden mengikat sangat mewarnai perkembangan hukum dan perundangan.
Maka, dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, sudah saatnya kita melepas kekangan baju sistem Civil Law yang selama ini kita anut sejalan dengan semangat kemerdekaan. Sudah saatnya para praktisi, penegak dan akademisi hukum kita membuka diri dari belenggu perspektif kolonialis. Diperlukan sebuah perspektif hukum yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia, yaitu yang menggunakan paradigma sendiri, agar hukum menjadi milik semua.
Perspektif yang perlu dibangun mestilah sebuah reformulasi sistem hukum nasional yang mengadopsi prinsip-prinsip hukum adapt, hukum agama, dan juga hukum moderen Barat tanpa harus tersekat oleh pagar Civil Law ala Belanda.
Undang-undang Untuk Semua: Harapan Membangun Kontrol Masyarakat
Seperti yang diutarakan sebelumnya, hukum telah terasosiasi dengan penguasa. Dan pada kenyataannya, perangkat hukum dan perundangan sering dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, baik itu di eksekutif maupun legislatif. Timbul pertanyaan, bagaimana kalau pemerintah di kedua badan negara itu menghasilkan sebuah produk undang-udang yang berbenturan dengan prinsip-prinsip konstitusional dan merugikan rakyat banyak?
Dalam hal ini, prinsip pengawasan yudisial (judicial review) terhadap produk perundangan menjadi sangat penting. Dengan adanya proses judicial review ini, setiap produk perundangan yang dihasilkan oleh badan legislatif akan diuji secara materil apakah prangkat perundangan itu sejalan dengan prinsip konstitusional termasuk hak asasi warga negara.
Di berbagai konstitusi negara modern, sistem undang-undangnya selalu menempatkan sebuah mekanisme untuk melakukan proses judicial review ini. Mekanisme ini ada yang dipikulkan kepada mahkamah agungnya seperti di Amerika Serikat, Inggris dan juga Malaysia. Ada pula yang dinisbahkan kepada bada peradilan khusus yang disebut peradilan konstitusi (constitutional court) sperti di Perancis dan Jerman.
Di Malaysia, Mahkamah Persekutuan (Federal Court) diberikan wewenang untuk melakukan judicial review ini, yang dalam istilah kita disebut uji materil. Uji materil ini dilakukan melalui dua jalur. Pertama, melalui permintaaan Yang Dipertuan Agong, dan yang kedua, berdasarkan gugatan biasa di pengadilan. (Ahmad Ibrahim, 1995:238-239).
Di Indonesia, Mahkamah Agung hanya diberikan wewenang terbatas, yaitu untuk menguji materil sebuah produk perundangan di bawah level Undang-undang (UU). Walhasil, produk UU terbiarkan tanpa kontrol. Dengan keadaan begitu, produk UU bisa bergesekan dengan pagar konstitusi dan merugikan warga negara. Biasanya, kasus yang paling sering muncul adalah ketika produk perundangan mulai memberikan batasan pada bidang hak asasi manusia (HAM).
Proses judicial review niscaya sangat diperlukan untuk menjamin pagar-pagar konstitusi sebagai dasar negara tidak tertabrak dan hak warga negara tidak terlanggar. Bagi negara Republik Indonesia, MPR-lah yang paling berhak melakukan fungsi ini, karena posisinya sebagai lembaga tertinggi negara, dan pada saat yang sama dapat menjaga pergesekan antar lembaga negara. Namun melalui ketetapannya, dan diamanati oleh undang-undang itu sendiri, sebentar lagi Indonesia akan memiliki sebuah badan yang bertindak sebagai penjaga konstitusi, yaitu mahkamah konstitusi.
Kehadiran mahkamah konstitusi ini diharapkan dapat membawa titik cerah pembangunan perundangan yang ditujukan untuk mensejahterakan semua warga negara, dan pada saat yang sama menyediakan mekanisme kontrol masyarakat terhadap produk perundangan negara.
Badan Peradilan Untuk Semua: Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
Dalam konteks masyarakat awam, masih ditemukan sekat-sekat struktural dan kultural dalam penegakan hukum di Indonesia. Sekat struktural muncul akibat birokrasi hukum danperadilan yang kurang bersahabat dengan rakyat awam. Ada tendensi proses hukum terkesan mahal dan kalau perlu dihindari. Mungkin ini berita buruk bagi Indonesia, karena institusi peradilan adalah sebuah fenomena peradaban bangsa. Semakin beradab sebuah bangsa, seharusnya semakin berfungsilah institusi-institusinya. Dan demikian puila sebaliknya.
Sekat kultural pula disebabkan karena persepsi-persepsi yang muncul berkaitan dengan praktik peradilan selama ini. Keadilan menjadi barang mahal yang hanya dapat dibeli oleh pangkat dan uang. Dalam kaitan ini, penemuan hukum mengenai gugatan masyarakat sebagai warga negara (citizen lawsuit) menawarkan sebuah harapan dalam ketidakpastian. Saat ini, sudah ada beberapa pilihan bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan yang bersifat melindungi kepentingan publik; baik itu melalui gugatan perwakilan kelompok (Class action) maupun gugatan warga negara.
Gugatan perwakilan kelompok diatur oleh peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1/2002. Pasal 2 Perma menyatakan bahwa gugatan dapat diajukan dengan mepergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok apabila:
- Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan
- Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;
- Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
- Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Gugatan secara perwakilan kelompok ini telah dipertimbangkan dalam kasus-kasus yang menyangkut kepentingan publik seperti kasus divestasi Indosat, penggusuran Sekolah di Jakarta, kenaikan tariff listrik, telepon dan BBM, danjuga dalam kasus operasi militer di Aceh. Meskipun hasil dari berbagai gugatan ini bermacam-macam, namun keadaan ini telah memberikan sebuah harapan menuju pembangunan sistem hukum yang melindungi kepentingan publik.
Gugatan warga negara (citizen lawsuit) mendapat tempat dalam sistem hukum nasional untuk pertama kalinya dalam kasus gugatan terhadap pemerintah atas terlantarnya pengungsi di Nunukan. Dalam amarnya penetapannya, majelis hakim yang diketuai oleh Andi Samsan Nganro saat menerima gugatan citizen law suit kasus tragedi kemanusian Nunukan menguraikan:
‘Setiap warga negara, tanpa kecuali, mempunyai hak membela kepentingan umum. Dengan demikian, setiap warga negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat negara atau pemerintah, atau siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum yang nyata-nyata merugikan kepentingan publik dan kesejahteraan luas.’
Advokasi Tragedi Kemanusiaan Nunukan menggugat penyelenggara negara, antara lain presiden, wakil presiden, Menakertrans, Men Kesra, dan beberapa pejabat lain yang terkait dengan masalah itu. Mereka dinilai telah lalai atau dengan sengaja melupakan kewajibannya untuk menangani masalah buruh migran Indonesia, khususnya yang dipulangkan dari Malaysia pada 2002 (Hukum Online).
Amar atau pertimbangan penetapan tersebut tidak saja bermakna diterimanya gugatan citizen law suit oleh majelis hakim dan dimulainya pemeriksaan materiil gugatan. Yang lebih penting dari itu, amar penetapan ini merupakan penemuan ‘paradigma hukum’ baru yang tentunya membuka pandangan baru dalam khasanah hukum di Indonesia. Hal ini juga merupakan langkah maju yang tidak hanya sekadar ‘terobosan hukum’, melainkan perubahan terhadap sudut pandang hukum itu sendiri.
Terobosan hukum ini paling tidak memberikan titik cerah harapan untuk mewujudkan cita-cita hukum untuk semua. Dan perkara gugatan untuk kepentingan umum tidak dapat lagi disekat untuk mendapatkan keadilan.
Kesimpulan
Sampai pada bagian ini, paper sederhana ini ingin menegaskan sebuah keharusan sejarah dan cita-cita kemerdekaan serta amanat reformasi, bahwa agenda reformasi perlu disiapkan dan dijalani demi menempatkan hukum pada tempatnya, yaitu hukum yang adil dan berkeadilan, yang dimiliki dan ditujukan untuk semua warg negara Indonesia. Sementara itu, reformasi hukum ini juga harus diiringi serentak dengan agenda reformasi di bidang lain seperti politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, karena hukum hanyalah salah satu institusi masyarakat kita yang dependen dengan skenarion negara secara keseluruhan.
Bahan Bacaan
- Ahmad Ibrahim & Ahilemah Joned. 1995 (2nd Ed.). The Malaysian Legal System. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka.
- Hazairin. 1985 (2nd Ed.). Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Jakarta. Bina Aksara.
- Busthanul Arifin. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Gema Insani Press.
- Lindsey, Timothy. 1999. Indonesia Law and Society. NSW. The Federation Press.
- Rifyal Ka’bah. 1999. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Universitas Yarsi .
- Stein, Peter. 1999. Roman Law in European History. Cambridge. Cambridge University Press.
- Fajrul Falaakh, M. Kemandirian dan Tanggungjawab Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Artikel tanpa tanggal di situs Komisi Hukum Nasional RI www.komisihukum.go.id
- Frans Hendra Winarta. Dimensi Moral profesi Advokat dan Pekerja Bantuan Hukum. Artikel tanpa tanggal di situs Komisi Hukum Nasional RI www.komisihukum.go.id
*) Makalah ini disampaikan dalam acara seminar sehari refleksi kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-58 di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur), 30 Agustus 2003. Perundangan dan sistem hukum yang termaktub diatas adalah benar dan akurat pada saat penyampaian makalah ini.
Excellent way of describing, and pleasant piece of writing to get
data regarding my presentation subject, which i am going to convey in college.