By: Sonny Zulhuda
Akhir-akhir ini pengguna media sosial pasti sudah banyak melihat foto-foto transformasi wajah yang dilabel hashtag #10yearschallenge. Tidak kurang, politisi dunia hingga artis dan selebriti pun berpartisipasi dalam trend yang satu ini. Aktivitas ini dimanfaatkan oleh masyarakat media sosial sebagai bahan hiburan dan obrolan yang menarik dan tidak jarang menggelitik.
Namun, mungkin banyak yang sadar bahwa foto-foto yang disebar itu akan memudahkan pihak media sosial atau pihak ketiga untuk melakukan beberapa pekerjaan mereka seperti:
1. Penyempurnaan database wajah individu berikut kronologi tahun dan usia.
2. Penelitian pola transformasi wajah manusia berdasarkan usia, periode, dan demografi lainnya seperti ras, gender, lingkungan, dan lainnya.
3. Pemrograman pada teknologi artificial ingelligence dalam melakukan rekaan wajah secara lebih akurat.
4. Identifikasi dan penyamaran.
Apalagi, dengan label yang sangat indikatif seperti #10yearschallenge akan semakin memudahkan penyaringan dan interpretasi data sehingga memberikan jalan pintas untuk pencarian data itu sendiri. Label hashtag itu sama dengan fungsi metadata. Semakin banyak hashtag, maka akan semakin mudah pencarian data tersebut di domain publik.
Buat sebagian orang, hal diatas seperti bukan isu baru. Toh semua data itu kebanyakannya sudah ada di media sosial dan Internet. Betul, tapi bedanya sekarang, kita MEMUDAHKAN pekerjaan mereka dalam hal kurasi dan pengemasan data yang sebelum ini tersebar salam belantara informasi. Dan yang lebih panting untuk para kurator data itu adalah, dengan aksi 10 years challenge, mereka mendapatkan VERIFIKASI gratis dalam proses pengemasan data. Verifikasi data adalah sebuah proses penting yang tidak mudah dan tidak murah. Namun, proses verifikasi ini sudah terpenuhi oleh aksi pemilik data itu sendiri.
Lalu, jika ditilik dari aspek pengamanan data, akan banyak timbul keraguan. Tentunya tidak akan ada masalah JIKA data-data transformasi wajah itu tersimpan secara aman misalnya di dalam media sosial tersebut dan tidak disalahgunakan. Masalahnya, diluar sana banyak pihak yang berminat untuk menggunakannya baik dengan cara legal atau ilegal. Tentunya masih segar dalam ingatan kita kasus skandal penyalahgunaan data Facebook oleh perusahaan data mining Cambridge Analytica beberapa waktu lalu yang menyentak dunia.
Tentunya, ada beberapa aspek positif dari pemanfaatan data transformasi wajah yang bisa dilakukan, seperti untuk memudahkan pencarian orang hilang walaupun sudah bertahun-tahun lamanya. Dengan berkembangnya teknologi AI dan facial recognition yang dipadukan dengan pola transformasi wajah berdasarkan faktor genetik dan demografis, pihak kepolisian atau keluarga akan mampu mendapatkan sketsa wajah si orang hilang tersebut tergantung berapa usianya.
Contoh lain adalah jika aspek penegakan hukum akan terbantu dengan adanya teknologi dan data tersebut. Sketsa wajah yang lebih akurat akan memudahkan pencarian tersangka kriminalitas.
Namun, aspek negatif juga samgat mungkin terjadi. Teknologi dan data pengenalan wajah akan dimanfaatkan oleh para detektif pribadi (private investigator) yang disewa orang untuk memata-matai pergerakan orang lain.
Lalu, para penggiat big data dapat mengembangkan data untuk keperluan komersil dan marketing. Misalnya, industri kosmetik dan perawatan kecantikan bisa menawarkan pasiennya untuk mendapatkan wajah yang lebih muda (atau lebih tua) secara lebih akurat dan nampak alami.
Kemungkinan terburuknya, dengan tersedianya data wajah yang akurat tersebut, sesiapa yang berniat buruk dapst menggunakannya untuk sekadsr memalsukan identitas bagi memudahkan kriminalitas.
Satu lagi implikasi bagi para pengguna media sosial, setelah ini, anda tidak bisa lagi mengaku-aku berusia lebih muda dari usia sebenarnya, karena akan lebih mudah ketahuan di kemudian hari.
Intinya, kita perlu berwaspada terhadap isu ini. Sketsa wajah, biodata, komunikasi, pergerakan, dan kombinasi itu semua saat ini adalah aset kita di era digital ini. Mari kita amankan dan berdayakan dalam sadar kita.