Oleh: Sonny Zulhuda

Donald Trump menjadi satu-satunya pemimpin negara yang sedang berkuasa yang dipersona-non-grata oleh Twitter.
Sebelum ini, tingkah polahnya di blantika Twitter selalu menjadi berita. Di tengah-tengah kericuhan dan aksi teror di Gedung Parlemen (Capitol) bulan Januari lalu, Pak Donald mengeluarkan cuitan/ciapan yang dianggap provokatif. Bagi lawan politiknya, keterkaitan Presiden AS dengan kelompok yang menyerbu Capitol sangat ketara. Dan, pada 6 Januari 2021, Twitter pun memblokir akun Tuan Trump untuk selamanya.
Dari insiden ini, Twitter mengirim sinyal komitmennya terhadap ketertiban dunia maya. Tiada ruang untuk segala bentuk komunikasi provokatif dan mengundang kekerasan, apalagi yang dilakukan oleh tokoh publik yang sangat berpengaruh.
Namun banyak yang mempertanyakan: Mengapa harus sampai diblokir secara permanen? Tidakkah ini berlebihan? Atau melanggar hak individu serta mengancam kebebasan berpendapat?
Meskipun pertanyaan diatas bisa panjang nan lebar untuk didiskusikan, namun ada lagi beberapa isu yang lebih urgen untuk dianalisa. Saya lebih tertarik untuk memberikan fokus ke pertanyaan berikut.
Apakah penyedia platform digital miliki kewenangan untuk menentukan kesalahan individu? Lantas dimana fungsi badan peradilan? Mengapa tidak dipakai untuk menentukan kesalahan Mr Trump?
Pertanyaan yang lebih spesifik: apakah keadilan digital tidak lagi dominasi institusi pengadilan? Dapatkah keadilan di-outsource ke penyedia platform digital?
Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dijawab, maka tidak mustahil para penyedia platform digital lainnya akan mengikuti jejak Twitter dalam menghukum penggunanya.