Oleh: Sonny Zulhuda
‘Thinking the unthinkable’. Mungkin inilah pemeo yang terlintas ketika kita membincangkan masalah pengaturan konten dalam ruang maya (cyberspace). Dalam diskursus perundangan dan kebijakan Internet, pengaturan konten Internet (Internet Content Regulation) ini memang telah menghamparkan polemik yang masih belum selesai. Berbagai pendekatan diambil di berbagai negara dan malah di banyak tempat, masalah ini belum mendapat perhatian sama sekali.
Minimnya perhatian itu disebabkan oleh berbagai faktor, yang setidaknya dapat digambarkan dalam dua skenario: pertama, di negara-negara yang tingkat kemajuan digitalnya rendah, pengaturan konten tentunya dianggap sebagai inisiatif prematur. Biasanya di negara-negara ini Internet masih merupakan barang mewah dan yang pasti belum terlihat adanya penyalahgunaan konten yang merugikan masyarakat. Ini merupakan faktor prioritas.
Skenario kedua, ketika infrastruktur Internet sudah cukup luas dan masyarakat mulai merasakan dampak konten yang tidak sehat, tentunya prioritas untuk menengok ke masalah ini sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Biasanya di negara ini mulai timbul permintaan atau desakan berbagai elemen masyarakat kepada pemerintah untuk mengontrol konten Internet. Tapi kebijakan tak jua timbul disebabkan oleh ketidaksiapan: kebijakan yang bagaimana yang harus diambil? Apalagi teknologi berlari begiu cepat dan tidak adanya panduan internasional yang disepakati dalam hal pengaturan konten ini. Ini adalah faktor kesiapan, dimana cepat atau lambat berbagai pendekatan akan diambil bagi mengatasi dampak negatif kebebasan konten di Internet.
Perlunya Kebijakan Pengaturan Konten
Evolusi teknologi informasi dan komunikasi (‘ICT’) terbukti mempu mengakselerasi pembangunan nasional melalui percepatan diseminasi informasi dan penemuan sumber pendapatan baru melalui berbagai produk dan jasa yang terkait dengan sektor informasi. Sejalan dengan kelajuan tersebut, Internet dan teknologi multimedia tidak dilihat lagi sebagai pilihan namun sebuah keniscayaan untuk mengarungi proses perubahan global ini. Pesatnya pertumbuhan penggunaan Internet dan teknologi multimedia di Indonesia menjadikan industri konten sebuah arena baru bagi mengembangkan kreativitas dan sumber pendapatan ekonomi baik dalam skala makro maupun mikro. Sementara itu, tekanan kompetisi global yang ada dapat menjadi faktor yang berpengaruh bagi pemain (stakeholder) industri konten multimedia.
Kebijakan nasional yang terarah perlu menyediakan koridor yang kuat bagi potensi bangsa dalam bidang pengembangan konten. Tanpa arah yang jelas, produk konten kita hanya akan menjadi pelengkap dominasi konten asing, dan cenderung mengurangi nilai kompetitif konten nasional. Tanpa visi nasional yang jelas, produk konten multimedia hanya akan bertumpu pada kepentingan meraih keuntungan yang cepat namun tidak berlangsung lama. Walhasil, dunia multimedia nasional hanya akan mengutamakan konten yang mungkin bersifat populer dan menarik namun mengabaikan nilai dan kepentingan umum. Pada akhirnya, keadaan seperti ini hanya akan merugikan masyarakat dan konsumen yang mengidamkan konten multimedia nasional yang kompetitif. Dan jika ini terjadi, babak berikutnya akan mengisahkan terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan manfaat teknologi informasi itu sendiri, yang merupakan langkah mundur di era informasi ini.
Untuk menghindari disorientasi industri konten multimedia, dan untuk memastikan berkembangnya industri tersebut untuk kesejahteraan bangsa dan negara, maka diperlukan perumusan kebijakan yang mensinergikan inisiatif dan kreativitas nasional dalam bidang yang baru ini. Segenap komponen masyarakat perlu berembuk bersama pemerintah dalam menentukan arah kebijakan tersebut serta mengidentifikasi kriteria konten multimedia yang sesuai dengan kepentingan sosio-politik bangsa dan sejalan dengan nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia. Pada akhirnya, kebijakan konten nasional diperlukan untuk menopang ekonomi negara, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mensukseskan tujuan pendidikan bangsa, serta mendorong diseminasi informasi yang merata demi menciptakan masyarakat informasi yang seimbang dan bermoral.
Pengertian ‘Content Regulation’
Wacana pengaturan konten dapat didahului dengan dua pertanyaan: Apa dan Bagaimana. Apakah yang dimaksud denganpengaturan konten, dan apa yang sebenarnya hendak diatur? Sebagai definisi, Rodolfo N.S. Quimbo (2003) menerangkan bahwa pengaturan konten Internet adalah suatu inisiatif perundangan yang diambil oleh pemerintah yang mengarah kepada dua hal, yakni pertama, penyensoran informasi dan komunikasi dalam Internet berdasarkan tema isi (subject matter) dan kedua pengontrolan terhadap akses ke website-website Internet juga berdasarkan tema isinya.
Dari pengertian diatas, pengaturan konten terfokus kepada dua hal. Pertama mengawasi dan mengatur lalulintas informasi dan komunikasi berdasarkan kategori tertentu yang perlu disepakati bersama. Kedua, pengontrolan tersebut diatas tentunya akan sia-sia jika proses peangksesan dan penyediaan konten Internet itu sendiri tidak diatur/diawasi. Oleh karena itu, tidak Cuma konten yang dibincangkan tapi juga tentang penyediaan jasa Internet termasuk layanan aksesnya perlu dipertimbangkan.
Biasanya reaksi dan resistensi dari masyarakat atas pengaturan Internet berdasarkan pada premis bahwa Internet merupakan lalu lintas informasi tanpa batas, dan dengan demikian perlu dibebaskan dari pengaturan lokal. Disini ada pemahaman yang perlu diluruskan. Internet sebagai sebuah infrastruktur informasi antarbangsa memang mengakomodasikan lalu lintas konten dari berbagai penjuru planet ini. Ini mungkin merupakan sebuah anugerah terbesar bagi peradaban manusia saat ini. Namun perlu diingat, masyarakat pengguna internet adalah masyarakat yang tumbuh dengan nilai-nilai tertentu yang dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya, agama, dan juga lingkungan sosial dan politik yang unik. Yang lebih utama lagi adalah nilai-nilai kemanusiaan kita sendiri yang luhur dan terlalu sepele untuk diruntuhkan oleh sebuah fenomena Internet. Itulah sebabnya, di berbagai negara muncul resistensi masyarakat (termasuk pemerintah) terhadap berbagai jenis konten yang lalu lalang di Internet. Penyensoran (baik langsung atu tidak) telah, sedang dan akan tetap berjalan. Di Amerika, misalnya, isu pornografi anak-anak dan terorisme sering menjadi topik utama. Sementara masayarakat Eropa tampaknya memiliki minat yang sangat tinggi terhadap perlindungan privasi. Di Cina, konten dan website yang berbau anti-komunis dan oposan diberikan resistensi yang tinggi. Di Malaysia, blogs anti pemerintah mulai disorot dan diperingatkan. Di Malaysia dan Australia, juga ada isu ‘kesopanan dan kesusilaan’ yang dijadikan tolak ukur layaknya sebuah konten di Internet. Malah akhir-akhir ini negara-negara seperti Thailand, Pakistan, Burma dan Vietnam juga disinyalir menyensor atau memonitor website-website yang berbau anti-pemerintah atau rasisme dan keagamaan (Deibert: 2006). Perbedaan penekanan ini terjadi disebabkan perbadaan nilai dan tumbuh dan berkembang di masyarakat. Di Indonesia, semua kelihatan masih bebas, sebebas-bebasnya. Yang pasti bukan karena kita tidak punya nilai budaya, agama, sosial dan kemasyarakatan.
Standar Internasional?
Sebagaimana disebutkan di atas tadi, hingga kini pengaturan konten lebih merupakan domain kebijakan nasional dan tidak ada pengaturan di tingkat dunia. Disinilah uniknya perihal pengaturan konten yang lebih didominasi oleh nilai-nilai dan tradisi lokal. Padahal dalam skala internasional, akhir-akhir ini produk hukum dan regulasi yang berkaitan dengan Internet sudah mulai diangkat oleh masyarakat antarbangsa untuk diformulasikan secara global. Di bidang perlindungan data pribadi, misalnya, Uni Eropa sudah memprovokasi dunia untuk menerapkan standar perlindungan yang mereka nyatakan dalam pasal 25 EU Directive tahun 1995 tentang perlindungan data pribadi lintas negara (inisiatif ini didukung oleh APEC secara gamblang dalam Apec Privacy Charter). Dalam bidang perdagangan elektronis, badan dunia dibawah PBB yang menguruskan perundangan perdagangan internasional (UNCITRAL) telah menawarkan model pengaturan transaksi dan tandatangan elektronis yang telah diserap di berbagai draft perundangan nasional termasuk Indonesia dalam RUU ITE-nya. Dalam bidang perlindungan HAKI di Internet, pada tahun 2002 badan dunia WIPO telah meyeponsori sebuah traktat hak cipta (yaitu The WIPO Performances and Phonograms Treaty atau disingkat WPPT) yang akan memperkuat perlindungan hak cipta di era informasi dan Internet. Sementara di bidang sengketa nama domain, formulasi arbitrase internasional UDRP (Uniform Domain Names Dispute Resolution Policy) sudah diaplikasikan secara meluas di berbagai negara.
Trend standarisasi global ini nyatanya tidak berlaku bagi masalah pengaturan konten. Satu-satunya persetujuan masyarakat internasional adalah memberi pengakuan terhadap perlunya diatur perihal konten yang melibatkan pornografi anak-anak. Hal ini dituangkan dalam Pasal 9 Konvensi Cybercrime (EU Cybercrime Convention 2001). Dalam pasal ini dinyatakan perlunya kriminalisasi kejahatan memproduksi, menawarkan dan mendistribusikan bahan-bahan pornografi yang melibatkan anak-anak dibawah umu 18 tahun melalui system komputer. Malah, Konvensi ini turut mengkategorikan sebagai kejahatan perbuatan menyimpan dan memiliki bahan tersebut untuk kegunaan sendiri. Dalam keterangannya, Konvensi itu menyebutkan bahwa standar nasional masing-masing negara merupakan penentu bagi klasifikasi pornografi yang dilarang, merusak atau yang tidak konsisten dengan moral umum masyarakat.
Indonesia tidak (belum?) meratifikasi konvensi yang disponsori oleh Uni Eropa tapi terbuka kepada seluruh dunia ini. Sejauh ini, selain negara-negara Eropa, baru Amerika, Jepang, Kanada dan Afrika Selatan yang ikut menandatanganinya, dan baru Amerika yang sudah meratifikasinya.
Pendekatan yang Beragam
Di Cina dan Arab Saudi, pelarangan akses terhadap website-website tertentu sudah menjadi praktik yang lumrah. Dalam Rudolfo (2003), disebutkan bahwa pemerintah Cina paling sering memfilter akses terhadap website. Dalam sebuah kajian di Universitas Harvard, secara reguler telah memblokir akses ke 19000 website yang kebanyakannya menyentuh isu-isu politis dan religius. Di Arab Saudi pula, isu-isu politik, keagamaan dan pornografi menjadi motif bagi mendaftarhitamkan sekitar 7000 website perbulannya. Ini sangat dimungkinkan karena disana akses publik terhadap Internet didapat melalui saluran tunggal yang dikontrol oleh pemerintah sejak 1999.
Singapura menerapkan pengaturan ketat terhadap lisensi penyelenggaraan jasa Internet. Para penyelenggara diwajibkan mematuhi ‘Internet Code of Practice’ dimana konten terlarang (prohibited material) diukur berdasarkan pertimbangan kepentingan public, nilai moral publik, ketentraman dan keamanan, dan juga keharmonian sosial. Dalam praktiknya, pihak berwenang Singapura lebih fokus kepada masalah pornografi, kekerasan, kebencian keagamaan dan isu rasialisme.
Di negara yang lebih demokratis, kriminalisasi konten tertentu melalui formulasi perundangan pidana di parlemen merupakan pendekatan pengaturan konten yang mungkin paling praktis dan mudah dicapai – namun belum tentu mudah dilaksanakan, tergantung di lapangan. Amerika secara tegas melarang konten yang mengarah kepada pornografi anak-anak (lihat The Child Online Protection Act 1998). Namun di balik nilai demokratis perundangan ini, seringkali ada kepentingan yang terabaikan, baik itu kepentingan komersial industri atau kepentingan publik dan konsumen umum. Karena nyatanya tidak semua aspirasi itu selalu bisa diserap oleh anggota-anggota dewan yang terhormat.
Australia lebih ramah terhadap dunia industrinya. Di sana diterapkan prinsip ‘co-regulation’ atau pegnaturan bersama yang melibatkan inisiatif industri, aspirasi masyarakat dan juga restu pemerintah (Peter Coroneos: 2005). Pada intinya adalah swa-regulasi industri (industry’s self regulation). Ini adalah sebuah inisiatif pemerintah untuk memfasilitasi pihak industri yang terkait dengan penyelenggaraan Internet untuk memformulasikan kode etik praktik yang akan menunjuk perwakilan dari industri itu sendiri sebagai pengawas di lapangan. Kode etik itu pula mendefinisikan kategori konten yang perlu disekat. Sebagai bentuk partisipasi masyarakat, konsultasi publik diperlukan dalam proses formulasi kode etik itu. Pada akhirnya pihak pengawas industri juga bisa merujuk proses peradilan jika ada angotanya yang melenceng dan melanggar ketentuan kode etik. Kode etik konten Internet itu sudah dilaksanakan sejak 1999 oleh Asosiasi Industri Internet yang mewakili lebih dari 200 perusahaan anggota.
Agak serupa dengan Australia, Malaysia mengambil langkah kombinasi perundangan dan swa-regulasi industri (Ida Madieha: 2004). Dalam UU Komunikasi dan Multimedia 1998, Malaysia mengkategorikan penyediaan konten berbahaya (‘offensive content’) sebagai kejahatan yang bisa dipidana penjara hingga setahun atau denda hingga RM 50.000 (sekitar 120 juta rupiah). Akan tetapi pasal pidana ini ‘diparkir’ karena UU yang sama juga memandatkan agar pihak industri komunikasi dan multimedia (termasuk penyelenggara Internet di dalamnya) menelurkan dan mengimplementasikan Kode Etik INdustri-nya sendiri, yang kini bernama Content Code. Instrument inilah yang lebih diutamakan untuk mengembangkan konsep swa-regulasi termasuk menyediakan medium pengaduan publik dan tindakan administratif bagi industri yang melanggar. Diatas itu semua, tindak pidana dibawah UU Komunikasi dan Multimedia masih bisa dipakai jika diperlukan.
Rekomendasi Awal
Bagaimana di Indonesia? Infrastruktur Internet kita sudah cukup meluas dan terus berkembang ke pelosok desa, apalagi didukung dengan program one computer-one school dan one lab-one school. Sementara desakan masyarakat makin tinggi untuk menekan dampak negatif konten Internet yang jauh berlipat ganda dibanding sebuah program ‘smack-down’ di televisi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Iniatif yang telah ada seperti gerakan Internet sehat sudah menjadi keniscayaan apalagi dalam masa dimana tidak adanya kebijakan perundangan atau pegaturan konten Internet. Namun itu belum cukup. Di tempat lahirnya Internet sendiri, pemerintah AS sebagai sang ‘pengasuh’ jelas-jelas mengambil sikap bahwa perkembangan Internet memerlukan sebuah kepemimpinan digital yang kuat, yaitu yang dating dari pemerintah dan merperan sebagai fasilitator di antara masyarakat industri dan masayarakat pengguna. Intinya, apapun pendekatan pengaturan konten Internet yang akan ditempuh, pemerintah perlu mengambil langkah proaktif.
Sebagai rekomendasi awal, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, memetakan kembali produk hukum dan perundangan yang sudah ada di Indonesia untuk seterusnya mengidentifikasi bagian-bagian yang dapat digunakan untuk membantu pengaturan konten Internet pada masa sekarang. Menurut Edmon Makarim (2005), keberadaan pasal-pasal melawan hukum di KUHP dan juga UU No. 40 Thn 1999 tentang Pers dapat dipertimbangkan sebagai solusi pragmatis bagi masalah kejahatan di media Internet. Tentunya ini juga menjadi kontribusi penting untuk mengaturan konten. Strategi kedua, mengidentifikasi dan merumuskan kriteria konten ‘berbahaya/terlarang’ (prohibited/offensive content). Ini adalah kerja besar yang memerlukan kontribusi seluruh segmen masyarakat termasuk ahli agama, seni-budaya, sosiolog, dan juga pendidikan. Namun untuk itu dapat juga kita manfaatkan wacana yang sudah mulai mengkristal dari perdebatan dan perkembangan terakhir RUU Pornografi dan Pornoaksi serta RUU Informasi dan Transaksi Elektronik yang kini mulai diperbincangkan oleh para pembuat undang-undang di Senayan. Langkah ketiga, yang tak kalah penting adalah konsultasi publik dan industri terkait (stake-holders) berkaitan pengaturan akses dan penyelenggaraan jasa Internet. Prinsip ‘co-regulation’ ala Australia dan ‘swa-regulasi’ ala Malaysia merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah kita untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Terakhir (namun bukan yang terbelakang), tentunya pendidikan masyarakat melalui berbagai metode, kesempatan dan media yang sudah bisa dimulai dari sekarang dan merupakan proses yang berterusan. Pada akhirnya, kita semua mendambakan generasi yang unggul yang dapat memanfaatkan teknologi informasi secara maksimal dan mengeliminir unsur-unsur negatifnya sebisa mungkin.
Daftar Pustaka
Azmi, Ida Madieha. “Content regulation in Malaysia – Unleashing missiles on dangerous websites,” Journal of Information, Law and Technology (JILT), 2004(3), 15 Dec 2004.
Coroneos, Peter. 2005. “Industry Facilitated End User Empowerment within a Co-regulatory Environment: The History and Practice of Online Content Regulation In Australia,” makalah yang dipresentasikan pada Oxford Internet Institute Conference of Safety and Security in a Networked World: Balancing Cyber-Rights and Responsibilities, Oxford, UK, 8-10 September 2005.
Deibert, Ronald. “The Geopolitics of Asian Cyberspace,” artikel di majalah Far Eastern Economic Review (FEER), Desember 2006.(http://www.feer.com/articles1/2006/0612/free/p022.html)
Makarim, Edmon. 2005. Pengantar hokum telematika (Suatu kajian kompilasi). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Quimbo, Rudolfo Noel S. 2003. Legal and Regulatory Issues to the Information Economy. UNDP-APDIP.
(Sebuah draf awal makalah untuk bahan diskusi penyusunan kebijakan konten di Indonesia, diadakan pada tanggal 6 Desember 2006 di Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jakarta.)
Mohon Ijin copy artikelnya
Smoga bermanfaat 🙂