Oleh: Sonny Zulhuda
“Kamera dan teknologi tidak bisa berbohong, tapi mampu mengaburkan kebenaran.”
Ian Magee, pimpinan The Court Service yang pada akhir tahun 1990-an membantu menyukseskan program modernisasi pengadilan dan tribunal di Inggris, pernah berkomentar sinis tentang betapa tradisionalnya lembaga peradilan di sana. Menurutnya, kamar-kamar pengadilan adalah area publik terakhir yang nyaris tidak tersentuh oleh teknologi komputer di era informasi ini. Tidak berlebihan, ungkapan ini juga berlaku bagi peradilan di banyak negara, termasuk Indonesia. Akhirnya, teknologi komputer juga akan menginvasi dunia peradilan di Indonesia dan mengambil tempat di kamar-kamar persidangan. Apakah lembaga peradilan dan masyarakat kita siap?
Dalam proses persidangan di pengadilan Indonesia, pemanfaatan teknologi telekonferensi via video sudah dilaksanakan tiga kali dalam jangka waktu dua tahun terakhir. Sebuah catatan yang spektakuler bagi proses pembinaan hukum nasional. Terobosan hukum ini telah mengundang polemik yang hangat, bahkan lebih hangat dari yang terjadi di berbagai negara lain. Tak kurang penasihat hukum senior sekelas Adnan Buyung Nasution dan Mohammad Assegaf turut meluahkan berbagai catatan dan keberatannya pada kasus tuduhan makar Abu Bakar Baasyir atau ABB. (Fauzan Al-Anshari, Republika, 3 Juli).
Kalau saja Indonesia menganut sistem hukum common law, tentu kasus-kasus ini sudah cukup menjadi preseden bagi persidangan di kemudian hari. Namun kenyataannya Indonesia tidak menganut doktrin yurisprudensi mengikat (doctrine of binding precedent). Maka bisa dipahami, meskipun sudah tiga kali pengadilan Indonesia membolehkan kesaksian via telekonferensi, tidak menjamin bahwa praktik ini sudah mendapat tempat yang kokoh dalam sistem peradilan indonesia. Terutamanya karena belum adanya perundangan yang mengatur hal ini (aspek legalitas).
Selain karena asas legalitas, polemik ini tidak terlepas dari beberapa keunikan. Keunikan pertama. ketiga-tiga preseden itu menyidangkan kasus pidana high profile, yaitu kasus korupsi pejabat, pelanggaran HAM berat di Timor Timur, dan yang masih hangat kasus makar dan terorisme. Kedua, muatan politis sangat kental dalam ketiga kasus itu.
Ketiga, kesemua kasus itu tak hanya menyedot perhatian publik nasional namun juga masyarakat internasional. Terbukti Bank Dunia (pada kasus HAM Timtim) dan pemerintah Singapura serta Malaysia (pada kasus Abubakar Baasyir) bersedia menyeponsori pembiayaan yang diperlukan. Dari ketiga faktor di atas, tak ayal semua pihak yang terlibat, baik pihak tertuduh, kejaksaan maupun majlis hakim berada di bawah tekanan.
Loncatan drastis pengadilan Indonesia
Selain masalah perundangan, isu telekonferensi ini melibatkan juga masalah budaya. Budaya hukum masyarakat perlu bertransisi secara gradual untuk dapat menerima terobosan ini. Di pengadilan berbagai negara, penggunaan teknologi telekonferensi pada awalnya dilakukan untuk kasus khusus seperti tribunal HAKI di Thailand dan litigasi paten di AS.
Pengadilan Inggris mengawalinya untuk proses ringan pra-peradilan yang melibatkan tahanan dari rutan, juga untuk kesaksian korban penganiayaan anak. Sementara di pengadilan AS, pada awal 1990-an penggunaan telekonferensi baru popular untuk mendengarkan keterangan saksi ahli. Setelah sekian lama, barulah pengadilan memperdengarkan keterangan saksi kunci yang sifatnya lebih krusial. Karena ada proses bertahap ini, kini di berbagai negara seperti Kanada, Amerika Serikat, Inggris, dan juga Australia pencarian keadilan melalui media telekonferensi sudah menjadi praktik yang lumrah baik dalam kasus perdata maupun pidana.
Dalam hal ini, bisa dikatakan dunia peradilan kita mengalami keterkejutan budaya karena terobosan hukum yang cukup drastis ketika untuk pertama kalinya penggunaan telekonferensi dalam ketiga kasus di Indonesia langsung bertujuan menghadirkan saksi-saksi penting yang keterangannya sangat mungkin berpengaruh pada pengambilan keputusan hakim. Belum sempat masyarakat dan peradilan Indonesia dibudayakan dengan penggunaan teknologi ini pada kasus-kasus yang lebih sederhana dan prosedural, kita langsung ‘dikejutkan’ dengan penggunaannya dalam kasus-kasus yang penuh kontroversi dan di bawah tekanan internasional.
Telekonferensi di negara tetangga
Berdasarkan kondisi di atas, ada baiknya lembaga peradilan kita banyak belajar dari berbagai yurisdiksi yang telah lebih dulu menggunakan telekonferensi berdasarkan asas legalitas yang kuat, budaya hukum yang siap, dan infrastruktur yang memadai.
Di Malaysia, meskipun persidangan menggunakan telekonferensi belum pernah terlaksana sekalipun, masyarakat sudah dikondisikan terlebih dulu. Sejak tahun 1998 Perdana Menteri Mahathir Mohammad dan badan penasihat internasional untuk proyek mega Multimedia Super Corridor membincangkan rencana pendirian pengadilan maya (international cyber-court) untuk mendukung pelaksanaan cyberlaw-nya (The Star, 9 Februari 1998). Melihat kesiapan hukum cyberlaw-nya dan dengan pembudayaan hukum dan teknologi di masyarakat yang cukup tinggi, kelihatannya dunia peradilan di Malaysia tinggal menunggu saatnya melakukan berbagai terobosan hukum itu.
Sistem hukum common law terlihat lebih maju dalam hal ini. Namun berdasarkan kajian penulis, di antara negara ASEAN bersistemkan common law (Malaysia, Singapura, dan Brunei), baru ada satu kasus di Singapura yang pernah melibatkan penggunaan teknologi telekonferensi ini, yaitu pada tahun 1999 berkaitan dengan gugatan perdata perusahaan eksporter barang elektronik (Sonica Indutries Ltd.) berkaitan dengan pengingkaran perjanjian (breach of contract).
Penggugat mengajukan permohonan bukti materil berupa keterangan saksi yang nota bene tinggal di California AS. Dalam hal ini majelis hakim tidak perlu bersusah payah mencari rumusan justifikasi bagi kesaksian telekonferensi. Cukup bagi mereka merujuk Akta Keterangan Singapura (Evidence Act) yang telah menggariskan panduan bagi dibolehkannya kesaksian jarak jauh ini.
Potensi prejudis
Ada yang bisa dipelajari dari kasus di Singapura ini. Secara gamblangnya, pasal 62 dan 62A Akta Keterangan Singapura mengharuskan hakim untuk melihat berbagai faktor yang ada, baik itu yang kasat mata ataupun yang tidak terlihat. Faktor yang kasat mata antara lain keberadaan, umur, kondisi, dan lokasi si calon saksi. Selain itu kelaikan pengadaan telekonferensi harus dipertimbangkan secara teknis maupun administratif.
Yang cukup penting, dan yang dapat membedakan kemampuan analitis seorang hakim serta sangat bisa membedakan produk hukumnya, adalah faktor-faktor yang tidak terlihat. Hakim harus mempertimbangkan; pertama, faktor urgensi pencarian keadilan dan, kedua, faktor prejudis yang dapat merugikan satu pihak yang beperkara dan menguntungkan secara tidak fair pihak yang lain. Yang terakhir ini diperlukan kehati-hatian mengingat faktor eksternal kesaksian melalui telekonferensi tidak dapat disamakan dengan kesaksian langsung di depan hakim.
Berdasarkan persyaratan ini, hakim perlu mempertimbangkan, misalnya, apakah keterangan yang akan didapat ini bersifat materiil atau sekunder. Jika materiil, tentu hakim akan lebih condong untuk membolehkannnya. Kemudian, jika kesaksian yang akan diberikan bertendensi merugikan salah satu pihak karena, misalnya, sulit untuk diuji silang, atau sulit untuk memastikan kondisi saksi tersebut, tentu hakim perlu berhati-hati dalam menyikapinya. Ketentuan hukum Singapura ini niscaya sejalan dengan aspek rasa keadilan publik yang juga dirujuk oleh hakim di Indonesia dalam membuat keputusan.
Di sinilah relevansinya apa yang dikhawatirkan Bang Buyung, bahwa kesemua saksi yang ditelekonferensikan dalam sidang tuduhan makar Baasyir sangat mungkin berada di bawah tekanan sehingga tidak dapat memberikan kesaksian yang bebas. Sulitnya memverifikasi kondisi saksi yang dalam tahanan subversif itu membuat potensi prejudis dalam kasus ini cukup besar dan dapat merugikan tertuduh secara tidak fair. Di sinilah kelihaian analisa serta ketegasan hakim diuji sebelum membolehkan kesaksian jarak jauh.
Kesimpulan
Ada tiga aspek yang harus dipertimbangkan dalam sidang telekonferensi, pertama, aspek legalitas menyangkut ketentuan peraturan perundangan, prosedur peradilan, serta panduan yurisprudensi. Kedua, aspek infrastruktur termasuk kesiapan pembiayaan dan teknologi, dan ketiga, aspek kesiapan budaya masyarakat yang perlu dipupuk secara gradual dan menyeluruh.
Dari balik kamera telekonferensi, alat bukti masih bisa dicari, dan keadilan masih bisa ditemukan. Namun lembaga peradilan kita juga tidak boleh lupa untuk mematangkan personelnya agar tidak mudah ‘tertipu’ oleh layar kaca telekonferensi. Memang kamera tidak bisa berbohong, tapi mampu mengaburkan kebenaran.
(Harian REPUBLIKA, 15 Juli 2003).