
By: Sonny Zulhuda
Mengatur PINJOL BODONG di Indonesia.
Frasa ini sudah betul berbahasa Indonesia, tapi masih harus ditashrif dan ditakwil. Pinjol artinya Pinjaman Online (Online Peer to Peer Lending Service atau P2PL). Sementara “bodong” [slank/non formal] artinya liar atau ilegal.
Atas undangan Sakinah Finance Jakarta, kita akan sharing terkait aspek pengaturan dan perlindungan konsumen seputar Pinjol atau P2PL ini.
Sejak tahun 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menjaring lebih dari 2500 penyelenggara layanan P2PL ilegal. Sementara sampai April 2021 ini, ada 146 penyelenggara P2PL yang terdaftar (registered) di OJK, dengan 46 diantaranya sudah berstatus memiliki izin (licensed).
Berurusan dengan penyelenggara P2PL ilegal alias bodong memiliki risiko tinggi. Meskipun diawalnya banyak kesenangan karena cepat dan mudah mendapatkan dana pinjaman, namun banyak masalah yang menanti di kemudian hari.
Diantara permasalahan itu adalah unsur penganiayaan (zhulm) dimana pihak pemberi pinjaman memaksakan syarat dan ketentuan yang sangat merugikan pihak peminjam. Misalnya terkait bunga pinjaman, metode pengembalian dan lain-lainnya.
Permasalahan kedua muncul saat terjadi default atau kelambatan pembayaran, maka sering terjadi unsur intimidasi, fitnah dan ancaman. Hal ini malah bisa menjurus kepada kriminalitas.
Permasalahan ketiga terkait dengan risiko penyalahgunaan data pribadi peminjam yang dapat dieksploitasi oleh pemberi pinjaman.
Untuk itu, diperlukan beberapa langkah preventif dan juga korektif. Langkah preventif diutamakan kepada aspek edukasi, penyampaian info terkini dan juga penerapan aturan lisensi yang mengatur aspek tatakelola perusahaan serta tatakelola sistem informasi. Hal ini sudah banyak diatur Peraturan OJK No. 77 tahun 2016.
Adapun langkah korektif masih sangat kurang. POJK bukanlah UU yang bisa menerapkan sanksi pidana atau perdata. Diperlukan UU yang lebih kuat untuk mempidanakan segala jenis perbuatan yang tidak menyenangkan yang ujung-ujungnya merugikan konsumen.