
Written by: Alldeira Lucky Syawalayesha. First published on 6th April 2023 at the Fakultas Hukum UNAIR website.
Berdasarkan kerangka ekonomi digital G20 lalu, dikatakan bahwa Privasi data adalah ancaman untuk aspek konektivitas, maka dari itu, kita memerlukan proteksi data. Dalam seminar nasional pada hari Senin (3/4/2023) lalu, jajaran profesor baik dari dalam maupun luar negeri termasuk lecturer International Islamic University Malaysia (IIUM), Prof. dr. Sonny Zulhuda dan Prof. dr. Nasarudin dan juga profesor dari Fachhochschule Dortmund, Prof. Michael Bohne telah membahas tuntas terkait masalah ini.
Dahulu manusia risau soal sumber ekonomi konvensional tangible seperti bahan pasokan makanan, properti, atau bahkan tanah. Tetapi di era disrupsi digital, data bisa juga menjadi sumber ekonomi yang baru. Data, karena ihwalnya adalah sesuatu yang tidak terlihat, intangible, pasti perlu proteksi lebih daripada sesuatu yang terlihat. Maka dari itu perlu diadakannya sistem proteksi data. Prof. Sonny mengatakan bahwa untuk membuat sebuah sistem proteksi data yang baik, diperlukan kerjasama segitiga. Kerjasama segitiga itu melibatkan manusia, proses, dan juga teknologi. Ketiga unsur itu tak boleh lewat ataupun tidak kumulatif. Satu saja hilang, maka tidak bisa diwujudkannya sistem proteksi data yang baik.
Prof. Sonny lebih lanjut juga mengingatkan audiens bahwa perhatian dunia terhadap digitalisasi itu macam-macam dan berubah-ubah bentuknya. Blockchain, AI, Cloud, Crypto, dan mungkin nanti Metaverse yang menjadi tantangan-tantangan baru. Maka dari itu kita tidak boleh terfokus pada perubahan apa yang ada, tetapi fokus pada value yang menjadi faktor fundamental. Contohnya adalah Hak Asasi Manusia dan aspek-aspek kemanusiaan lain yang tertanam pada tiap-tiap perubahan. Karena sejatinya hukum adalah soal manusia, dan apa-apa yang tercantum di dalamnya adalah untuk manusia.
Apabila Prof. Sonny membahas data protection dari prespektif nilai, Prof. dr. Nasarudin membahasnya dari sisi keberhati-hatian pengguna dalam memberikan data. Beliau mengatakan bahwa Di Malaysia, Hukum Dagang menjadi salah satu faktor fundamental yang membuat proteksi data semakin maju dalam bidang hukum. Hukum Dagang menjadi salah satu restriksi eksploitasi data oleh perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan besar seringkali mengambil data penggunanya tanpa persetujuan, kemudian menggunakannya untuk menaikan algoritma yang dipersonalisasi. Terkadang, eksploitasi data itu merugikan penggunanya. Sehingga hal ini memicu dikeluarkannya UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia sendiri.
Ada pula prespektif dari Prof. Michael Bohne yang mengaitkan protleksi data pada hal cookie dan terms and condition. Perkembanga regulasi dan telah membuat perusahaan dan aplikasi memperhatikan konsen dan juga perlindungan data. Karena ada perlindungan regulasi dan hukum itu pula, perusahaan dan aplikasi yang tidak menghargai atau menjunjung tinggi proteksi data memiliki pandangan yang buruk di masyarakat.
Hal-hal ini semua sejatinya bermuara kepada tujuan yang sama, yakni proteksi data yang berbasis regulasi. Segalanya harus kita dasarkan pada regulasi dan hukum. Kata-kata “Law is always left behind” seharusnya tidak menjadi masalah lagi di era disrupsi. Hukum itu harus dinamis dan terus mengikuti perkembangan jaman, tetapi tanpa kehilangan asas-asasnya.