By: Sonny Zulhuda
UU Pornografi melarang pemuatan dan penyebarluasan Pornografi di berbagai media termasuk Internet. Masalahnya, seringkali pembuat atau pemasok pornografi di Internet adalah anonim alias tidak bernama atau beridentitas.
Hal ini sangat dimungkinkan mengingat fasilitas Internet seperti situs, blog, atau email pada umumnya tersedia secara gratis dan tidak memerlukan identitas asli pendaftar. Sementara data mutakhir di Indonesia menunjukkan mayoritas pengguna Internet memakai fasilitas umum seperti warnet, atau fasilitas kantor atau sekolah yang tidak diatur sistem aksesnya. Keadaan ini bisa mengaburkan identifikasi orang yang memproduksi, memuat atau meyebarkan pornografi di Internet.
Walhasil, dalam keadaan dimana pelaku asal pemuat pornografi tidak teridentifikasi, perhatian penegakan hukum hanya dapat difokuskan kepada penyedia akses terhadap muatan itu, yaitu para penyedia jasa internet (PJI) dan penyedia hosting.
Secara teknis, PJI yang fungsinya menyediakan koneksi Internet kepada pelanggan beresiko dianggap ‘menyebarluaskan’ atau ‘menyediakan’ pornografi seperti yang dilarang oleh UUP; atau ‘mentransmisikan’ atau ‘membuat dapat diaksesnya’ pornogafi sebagaimana dilarang di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Padahal, mengharapkan PJI melakukan kontrol editorial terhadap muatan yang masuk setiap hari sama saja seperti mengharapkan kematian industri tersebut.
PJI tidak bisa disamakan dengan editor koran atau majalah yang mengontrol muatan yang dapat dan tidak dapat masuk ke kolom media mereka. Dalam bahasa the European Directives on Electronic Commerce, fungsi PJI adalah hanya sekedar pipa saluran (‘conduit’). Prinsip ini juga diadopsi oleh berbagai negara dalam hal pengaturan muatan konten Internet. Ini dikarenakan PJI tidak tahu menahu isi dari muatan informasi yang disalurkan olehnya kepada pelanggan, persis seperti posisi penyelenggara telekomunikasi telepon.
Jadi, sejauh mana pertanggungjawaban PJI dalam hal ini? Dapatkah mereka dianggap ‘menyebarkan’, ‘menyiarkan’ atau ‘membuat dapat diaksesnya’ pornografi di Internet dan diancam pasal pidana? Ketidakpastian hukum ini perlu dijawab dengan peraturan turunan dari UU Pornografi sendiri atau dari UU ITE, baik melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri atau lainnya.
(Tulisan merupakan bagian dari artikel penulis yang dimuat di Harian Republika pada 11/11/2008 berjudul ‘Pengaturan Pornografi di Internet’)