Dr Sonny Zulhuda
This article, in Indonesian, was published in the national daily REPUBLIKA, on 3rd April 2018. This piece highlights the ultimate need to have a privacy-embedded technologies. Respecting privacy is a prerequisite to maintain the integrity in the use of technology. As I concluded, the connectivity that we currently enjoy shall not eliminate the identity and integrity that shape who we are, as individuals and nation.
================
Berbagai isu kebocoran data pribadi seperti yang baru-baru ini berlaku pada data registrasi nomor telpon seluler di Indonesia, dan juga pada data pengguna Facebook di Amerika Serikat (AS), membawa kita kepada pertanyaan yang lebih fundamental, yaitu hak privasi terhadap data. Apakah hak privasi itu sendiri?
Jarang didefinisikan, namun sering diperdebatkan. Misalnya, dalam menyikapi isu penyadapan komunikasi oleh penegak hukum di Indonesia, masyarakat kita berpolemik sejauh mana penyadapan bisa dilakukan, mengingat efeknya yang mengoyak kebebasan dalam berkomunikasi. UUD 1945 menjamin hak kita untuk berkomunikasi dan menyampaikan pemikiran atau pendapat. Jika komunikasi kita disadap, maka hak kita sudah disunat. Dalam konteks inilah Dewan Keamanan Nasional AS dikritik tajam ketika mantan pekerjanya Edward Snowden mengungkap praktik Badan itu dalam mengawasi komunikasi dan data pribadi pengguna Internet AS dan global.
Di Malaysia, pengadilan memvonis salah perbuatan memasang kamera CCTV di pekarangan rumah sendiri namun mengarahkannya ke halaman rumah orang lain karena mengganggu privasi tetangganya. Di Afganistan, orang dilarang memanjat genteng rumahnya sendiri sebelum memberitahukan tetangganya agar si jiran tidak terlihat dalam kondisi yang memalukan. Di Korea, kamera telpon seluler harus disetting dengan suara yang cukup nyaring sehingga orang tahu jika ia difoto di kawasan publik. Semua contoh diatas muaranya sama, yaitu melindungi privasi orang.
Kita tidak ingin teknologi modern yang nisbi menggerus sisi kemanusiaan yang universal dan hakiki. Teknologi informasi kita di negeri ini tidak boleh bebas nilai, dan tidak boleh pula miskin nilai. Koneksitas dan mobilitas yang semakin baik merupakan anugerah yang harus kita syukuri. Namun perlu diingat, koneksitas tidak dapat menghapus identitas, dan mobilitas tidak bisa meminggirkan integritas. Majulah TI di Indonesia.
Berasal dari bahasa Inggris, “privacy” berarti hak untuk bersendirian dan untuk tidak diawasi oleh orang lain. Padanannya dalam bahasa Arab adalah “huquq fardiyyah” (hak-hak pribadi) atau “huquq al-hurmah” (dignity atau maruah).
Dalam dialektika Alquran, privasi direfleksikan misalnya dengan pentingnya fungsi rumah yang melindungi penghuninya dari intervensi orang luar. Misalnya, kita diperintahkan untuk meminta izin penghuni sebelum memasuki rumah orang (QS. 24:27). Itu pun diatur waktu-waktu yang sesuai untuk berkunjung (QS. 24:58). Tujuannya untuk menghormati privasi penghuninya yang berhak untuk menikmati kesendirian atau bersama keluarganya di rumah tersebut. Selain itu, dalam Alquran dan hadits Rasulullah SAW, banyak ditemukan penekanan tentang pentingnya menjaga aurat, menutup aib orang, tidak memata-matai dan juga saling menjaga rahasia. Itulah privasi dalam Islam. Tujuannya menjaga maruah orang dalam konteks berinteraksi dalam masyarakat.
Data pribadi merupakan identitas diri dan menggambarkan aktivitas kita baik di ruang privat maupun publik. Adalah wajar, pada setiap interaksi dengan orang lain, kita akan mengontrol data pribadi mana yang akan kita simpan, dan mana yang kita ungkap ke orang tersebut. Praktek mengontrol ketersimpanan dan keterbukaan data pribadi kita itulah pengejawantahan hak privasi kita sehari-hari.
Masalahnya sekarang, seiring lajunya teknologi informasi (TI) dan analisis data (“big data analytic”) kita sering kehilangan jejak, sejauh mana data pribadi kita tersimpan atau terungkap. Yang dulu mudah kita kontrol secara manual, kini terekspos dalam dunia digital. Ungkapan masyhur dari Scott McNeally pemimpin Sun Microsystems di tahun 1999 semakin terasa relevan, “Privasi tidak ada lagi, lupakan saja!” Tentunya sebuah pernyataan yang kontraproduktif, karena privasi adalah keperluan hidup yang tidak mati hanya karena canggihnya teknologi.
Pertemanan di media sosial, penggunaan smart-phone and berbagai aplikasi selulernya, bisnis dan pemerintahan berbasis elektronik, digitalisasi data KTP-el, semuanya berkontribusi terhadap berkurangnya kontrol kita terhadap privasi data sendiri. Dan ini terjadi kadang tanpa kita sadari dikarenakan sinkronisasi data dari Internet, data komunikasi, data lokasi dan pergerakan, budaya berfoto, serta improvisasi teknologi pengenalan wajah (“facial recognition”), membuat perlindungan privasi menjadi lebih rumit dan sering dilupakan.
Disinilah pentingnya transparansi tentang penggunaan data pribadi dalam hal bisnis dan pemerintahan. Transparansi ini hanya bisa “dipaksakan” jika ada undang-undang yang mengikat. Kita sudah punya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang salah satu tujuannya adalah menciptakan pemanfaatan TI yang aman bagi bangsa Indonesia.
Pasal 26 UU ITE menyatakan bahwa penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Hak privasi itu sendiri dijabarkan sebagai, pertama, hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan. Kedua, hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa dimata-matai, dan ketiga, hak untuk mengawasi akses terhadap data seseorang.
Lebih lanjut, UU ITE mewajibkan penyelenggara sistem elektronik untuk menghapus informasi dalam kendalinya yang tidak relevan atas permintaan orang yang bersangkutan dan melalui putusan pengadilan. Pasal ini banyak dilabelkan sebagai “hak untuk dilupakan”. Klausul ini menjadi siginifikan dalam kondisi dimana sangat sulit kita mengontrol pengumpulan dan eksploitasi data pribadi, maka jalan pintasnya adalah menghapuskan data tersebut.
Jelas sudah bahwa hukum kita mengakui dan menghormati hak privasi terhadap data pribadi. Untuk memperkuat perlindungan tersebut sekaligus penyelarasannya dengan norma hukum internasional, maka saat ini pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) khusus dalam bidang perlindungan data pribadi. Bersama dengan UU ITE dan aturan turunannya, diharapkan UU yang baru nanti dapat melengkapi keterbatasan hukum dalam melindungi hak privasi data kita.
Akhirnya, kita tidak ingin teknologi modern yang nisbi menggerus sisi kemanusiaan yang universal dan hakiki. Teknologi informasi kita di negeri ini tidak boleh bebas nilai, dan tidak boleh pula miskin nilai. Koneksitas dan mobilitas yang semakin baik merupakan anugerah yang harus kita syukuri. Namun perlu diingat, koneksitas tidak dapat menghapus identitas, dan mobilitas tidak bisa meminggirkan integritas. Majulah TI di Indonesia.